Senin, 22 Oktober 2012

Merefleski Kembali Tujuan "State Auxiliary Institution" #SaveKPK #Save Indonesia









Pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, mulai banyak State Auxiliary Institution, lembaga Negara yang bersifat independen yang kemudian diberi nama “komisi. State Auxiliary Institution adalah lembaga Negara yang dibentuk diluar konstitusi dan merupakan lembaga yang membantu pelaksanaan tugas lembaga Negara pokok (eksekutif, legislative, dan yudikatif). Meskipun hanya merupakan lembaga independen diluar ketiga cabang kekuasaan, namun disaat yang sama mempunyai fungsi yang bersifat campuran antara ketiganya, Quasi legislative, executive power and quasi judicial.
Lahirnya lembaga-lembaga ini mengambil peran berbagai lembaga pemerintahan yang sudah ada sebelumnya . Hal ini salah satunya dikarenakan oleh ketikdak percayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintahan formal yang telah ada, dikarenakan tidak dapat menjalakan tugas dan fungsinya secara maksimal. Status Independen yang dimiliki lembaga ini hanya dalam hal menjalankan tugas dan fungsi amanah dari undang-undang, sehingga independen yang dimiliki tidak bersifat absolute. Beberapa ciri dari lembaga independen antara laian : Kepemimpinan yang bersifat kolegial, kepemimpinaan tidak berasal dari partai politik tertetu, dan masa jabatan pemimpin komisi tidak habis secara bergantian.
Salah satu contoh dari lembaga independen adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dalam kelahirannya ditujukan sebagai lembaga yang megambil peran Polisi Republik Indonesia (Polri) untuk melakukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, karena public merasa bahwa dalam menjalankan tugasnya melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, Polri melakukannya dengan tidak maksimal. Dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Hal ini menjadikan sebuah kesimpulan bahwa, lembaga independen bersifat “lex specialis” karena memang dibentuk untuk langsung ditujukan kepada satu substansi khusus yaitu tindak korupsi.
Mengacu dari sifat khusus lembaga independen, KPK. Menjadi cukup dipertanyakan ketika baru-baru ini sengketa Polri dan KPK atas siapa yang berwenang untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus simulator SIM menjadi masalah yang cukup rumit. Penulis juga menyoroti satu komentar dari ahli hukum yang menyatakan bahwa KPK tidak boleh berani melangkahi Polri karena Polri-lah yang tugas dan wewenangnya diatur secara eksplisit dalam UUDNRI 1945 sedangkan KPK tidak. Sedangkan perlu diketahui kembali bahwa lahirnya KPK adalah sebab keresahan public atas ketidak efektif dan efisien kinerja Polri dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal tersbut membuat sebuah kesimpulan bahwa, dalam pelaksanaannya tangan politik dan kekuasaan memang ikut campur mewarnai kinerja lembaga independen KPK, hal ini jelas bertentangan dengan dengan Pasal 2 Undang-undang No.30 Tahun 2002 “Bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”. Makin terlihat adanya kong-kalinkong untuk melemahkan KPK, setelah kasus simulator SIM tersebut muncul wacana untuk dibuatnya RUU KPK yang memang dalam substansinya melemahkan dan membatasi gerak KPK dalam melakukan tugas pemberantasan tindak pidana korupsi. Beberapa kalangan mangatakan bahwa DPR RI mengunakan tiga fungsi-nya yang ada dalam konstitusi untuk melakukan pelemahan terhadap KPK. Dalam menjalankan fungsi anggaran misalnya, anggota dewan telah menolak rencana pembangunan gedung baru KPK. "Padahal, gedung-gedung lainnya dikasih, sementara untuk KPK saja ditolak. dalam menjalankan fungsi legislasinya. Salah satu yang menjadi sorotan adalah revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "Dulu, RUU Tipikor juga mau dipangkas tapi gagal sekarang RUU KPK. Sementara dalam fungsi pengawasan, dalam beberapa rapat dengar pendapat (RDP), anggota dewan kerap berkeluh kesah dan meminta secara tidak langsung kasus ini tidak tepat ditangani KPK, namun lebih tepat ditangani jaksa dan Polri.
Dari topik berita diatas, penulis simpulkan bahwa ada beberapa partai politik yang memang secara tegas meminta untuk dicabutnya RUU KPK dari Prolegnas, yaitu F-PDI P, F-PKS, F-PAN, F-PKB, F-Hanura, dan F-Gerindra. Sedangkan yang paling terlihat berat hati dalam penghentian revisi UU KPK ini adalah fraksi Golkar.
Gonjang-ganjing dalam masyarakat Indonesia tentang pelemahan KPK melalui RUU ini menyeret pertanyaan masyarakat terhadap kesigapan Presiden SBY sebagai kepala pemerintahan. Masyarakt terus memberikan tekanan-tekanan kepada Presiden SBY untuk langsung turun tangan karena yang terjadi saat ini ada masalah antar lembaga Negara. Pada akhirnya di luar dugaan seperti yang tuliskan dalam Kompas 10 Oktober 2012, bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono cukup berani mengambil sikap tegas dalam menyelesaikan perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Polri. Kebijakan itu, antara lain (1) kasus simulator SIM ditangani oleh KPK; (2) proses hukum penyidik Novel Baswedan tidak tepat dari segi waktu dan cara; (3) waktu penugasan penyidik Polri di KPK akan diatur dalam peraturan pemerintah; (4) revisi UU KPK kurang tepat dilakukan saat ini.
Untuk selanjutnya, harapan penulis dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Marilah kita kuatkah lembaga-lembaga Independen yang ada ditinjau kembali dari alasan terbentuknya lembaga tersebut. Terutama KPK yang telah mendapat dukungan penuh dari masyarakat untuk membersihkan Indonesia dari para koruptor. Tidak lagi disimpanginya Pasal 2 UU No 30 tahun 2002, seluruh lembaga Negara satu suara dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Tanpa ada praktik-praktik percobaan pelemahan KPK dengan kekuasaan lembaga manapun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar