Pasca
amandemen Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945,
mulai banyak State Auxiliary Institution, lembaga Negara yang bersifat
independen yang kemudian diberi nama “komisi. State Auxiliary Institution
adalah lembaga Negara yang dibentuk diluar konstitusi dan merupakan lembaga
yang membantu pelaksanaan tugas lembaga Negara pokok (eksekutif, legislative,
dan yudikatif). Meskipun hanya merupakan lembaga independen diluar ketiga
cabang kekuasaan, namun disaat yang sama mempunyai fungsi yang bersifat
campuran antara ketiganya, Quasi legislative, executive power and quasi
judicial.
Lahirnya
lembaga-lembaga ini mengambil peran berbagai lembaga pemerintahan yang sudah
ada sebelumnya . Hal ini salah satunya dikarenakan oleh ketikdak percayaan
masyarakat terhadap lembaga pemerintahan formal yang telah ada, dikarenakan
tidak dapat menjalakan tugas dan fungsinya secara maksimal. Status Independen
yang dimiliki lembaga ini hanya dalam hal menjalankan tugas dan fungsi amanah
dari undang-undang, sehingga independen yang dimiliki tidak bersifat absolute. Beberapa
ciri dari lembaga independen antara laian : Kepemimpinan yang bersifat
kolegial, kepemimpinaan tidak berasal dari partai politik tertetu, dan masa
jabatan pemimpin komisi tidak habis secara bergantian.
Salah
satu contoh dari lembaga independen adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
yang dalam kelahirannya ditujukan sebagai lembaga yang megambil peran Polisi
Republik Indonesia (Polri) untuk melakukan upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi, karena public merasa bahwa dalam menjalankan tugasnya melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi, Polri melakukannya dengan tidak maksimal.
Dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi mengatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi adalah
lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat
independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Hal ini menjadikan sebuah
kesimpulan bahwa, lembaga independen bersifat “lex specialis” karena memang
dibentuk untuk langsung ditujukan kepada satu substansi khusus yaitu tindak
korupsi.
Mengacu
dari sifat khusus lembaga independen, KPK. Menjadi cukup dipertanyakan ketika
baru-baru ini sengketa Polri dan KPK atas siapa yang berwenang untuk melakukan
penyelidikan terhadap kasus simulator SIM menjadi masalah yang cukup rumit.
Penulis juga menyoroti satu komentar dari ahli hukum yang menyatakan bahwa KPK
tidak boleh berani melangkahi Polri karena Polri-lah yang tugas dan wewenangnya
diatur secara eksplisit dalam UUDNRI 1945 sedangkan KPK tidak. Sedangkan perlu
diketahui kembali bahwa lahirnya KPK adalah sebab keresahan public atas ketidak
efektif dan efisien kinerja Polri dalam melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi. Hal tersbut membuat sebuah kesimpulan bahwa, dalam pelaksanaannya
tangan politik dan kekuasaan memang ikut campur mewarnai kinerja lembaga
independen KPK, hal ini jelas bertentangan dengan dengan Pasal 2 Undang-undang
No.30 Tahun 2002 “Bebas dari pengaruh
kekuasaan manapun”. Makin terlihat adanya kong-kalinkong untuk melemahkan
KPK, setelah kasus simulator SIM tersebut muncul wacana untuk dibuatnya RUU KPK
yang memang dalam substansinya melemahkan dan membatasi gerak KPK dalam
melakukan tugas pemberantasan tindak pidana korupsi. Beberapa kalangan mangatakan
bahwa DPR RI mengunakan tiga fungsi-nya yang ada dalam konstitusi untuk
melakukan pelemahan terhadap KPK. Dalam
menjalankan fungsi anggaran misalnya, anggota dewan telah menolak rencana pembangunan gedung baru KPK. "Padahal, gedung-gedung lainnya dikasih, sementara
untuk KPK saja ditolak. dalam menjalankan fungsi legislasinya. Salah satu yang
menjadi sorotan adalah revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). "Dulu, RUU
Tipikor juga mau dipangkas tapi gagal sekarang RUU KPK. Sementara dalam fungsi
pengawasan, dalam beberapa rapat dengar pendapat (RDP), anggota dewan kerap
berkeluh kesah dan meminta secara tidak langsung kasus ini tidak tepat
ditangani KPK, namun lebih tepat ditangani jaksa dan Polri.
Dari
topik berita diatas, penulis simpulkan bahwa ada beberapa partai politik yang
memang secara tegas meminta untuk dicabutnya RUU KPK dari Prolegnas, yaitu F-PDI P, F-PKS, F-PAN, F-PKB, F-Hanura, dan F-Gerindra. Sedangkan yang paling terlihat berat hati dalam
penghentian revisi UU KPK ini adalah fraksi Golkar.
Gonjang-ganjing dalam
masyarakat Indonesia tentang pelemahan KPK melalui RUU ini menyeret pertanyaan
masyarakat terhadap kesigapan Presiden SBY sebagai kepala pemerintahan.
Masyarakt terus memberikan tekanan-tekanan kepada Presiden SBY untuk langsung
turun tangan karena yang terjadi saat ini ada masalah antar lembaga Negara.
Pada akhirnya di luar dugaan seperti yang tuliskan dalam Kompas 10 Oktober
2012, bahwa Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono cukup berani mengambil sikap tegas dalam menyelesaikan perseteruan
antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Polri. Kebijakan itu, antara lain (1)
kasus simulator SIM ditangani oleh KPK; (2) proses hukum penyidik Novel
Baswedan tidak tepat dari segi waktu dan cara; (3) waktu penugasan penyidik
Polri di KPK akan diatur dalam peraturan pemerintah; (4) revisi UU KPK kurang
tepat dilakukan saat ini.
Untuk selanjutnya, harapan penulis dan masyarakat Indonesia
pada umumnya. Marilah kita kuatkah lembaga-lembaga Independen yang ada ditinjau
kembali dari alasan terbentuknya lembaga tersebut. Terutama KPK yang telah
mendapat dukungan penuh dari masyarakat untuk membersihkan Indonesia dari para
koruptor. Tidak lagi disimpanginya Pasal 2 UU No 30 tahun 2002, seluruh lembaga
Negara satu suara dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Tanpa ada
praktik-praktik percobaan pelemahan KPK dengan kekuasaan lembaga manapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar