Kamis, 24 Januari 2013

Demokrasi, Jabatan Bukan Halangan Pemberian Gelar “Tersangka”


Demokrasi, Jabatan Bukan Halangan Pemberian Gelar “Tersangka”
Oleh : Siti Rahma Novikasari
 
            Dengan seloga “Menagih Janji, Menolak Lupa” masyarakat terus menerus mengingatkan pemerintah, mengingatkan KPK untuk terus menindak lanjuti kasus-kasus yang hampir tertutup entah karena alasan politis apa lagi. Kasus Bank Century merupakan salah satu kasus yang di tagih penyelesaiannya oleh masyarakat Indonesia.
            Baru-baru ini masyarakat gempar terkait belum diperiksanya Boediono, Wakil Presiden Republik Indonesia. Karena Boediono selaku Gubernur Bank Indonesia pada saat itu. Masyarakat mulai bersuara dengan ketidak adilan penegakan hukum di Indonesia, apakah karena jabatan Wakil Presiden, Boediono menjadi kebal akan hukum? Dari berita yang dilansir oleh Republika ini telah menjawab bahwa, tidak, Jabatan tidak menjadikan seseorang itu kebal akan hukum di negerinya sendiri. Tidak pula menjadi halangan untuk member gelar tersangka, apabila telah cukup dua alat bukti seperti yang dikatakan oleh Abraham Samad, Ketua KPK.
            Indonesia sebagai Negara Demokrasi, berjulukkan Negara Hukum haruslah benar-benar menjunjung tinggi prinsip equality before the law. Semua orang memiliki kedudukan yang sama diatas hukum, baik dia tukang sapu jalanan bahkan sampai wakil presidenpun, ketika dalam pemiriksaan dirinya dikatakan bersalah dan melanggar hukum yang berlaku di Indonesia, hilanglah perbedaan strata.
            Berhembus kabar selanjutnya, bahwa DPR akan melakukan tindakan impeachment. DPR telah melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik jika ada wacana demikian, namun harus ada proses-proses yang dijalani sebelum melakukan impeachment terhadap Boediono. Awalan DPR harus menggunakan hak angketnya untuk melakukan pemeriksaan dan penyidikan secara politik kepada Boediono, dan diteruskan dengan proses-proses selanjutnya yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
            Demokrasi, esensinya tidak hanya menjadi dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Tetapi juga menerobos sekat jabatan demi kepentingan dan keadilan rakyat. Untuk Indonesia yang lebih baik, bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/12/27/mfoz04-kpk-beberapa-langkah-lagi-boediono-tersangka

Demokrasi Pers di Indonesia, Kebebasan atau Keblabasan ?


Demokrasi Pers di Indonesia, Kebebasan atau Keblabasan ?
 Oleh : Siti Rahma Novikasari 

Kebebasan pers di Indonesia, memiliki sejarah yang cukup panjang beriringan dengan perkembangan pemerintahan. Mulai dari zaman penjajahan di mana pers mengalami pembatasan oleh pemerintah Hindia Belanda, begitu juga pada masa Orde Lama kebebasan pers pun berlangsung kurang baik walaupun telah tercantum dalam Pasal 19 UUD 1945 bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan pempunyai dan mengeluarkan pendapat”. Masuk pada masa-masa Orde Baru, tidak ada kemajuan dari kebebasan pers, surat kabar-surat kabar yang tidak pro pemerintahan dibredel begitu saja. Hingga saat ini, masa revormasi memberikan kesempatan besar atas kebebasan pers di Indonesia, hal ini ditandai dengan direvisinya aturan mengenai perizinan pernerbitan (SIUPP) dan pencabutan aturan mengenai wadah tunggal organisasi wartawan.
Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, adalah wujud dari adanya demokrasi pers yang bebas dan bertanggung jawab, dengan peranan : a) Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; b) Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, danHak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan; c) Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; d) Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; e) Memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Dalam Undang-Undang ini juga telah menegaskan bahwa dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapatkan perlindungan hukum.
Berbicara mengenai perlindungan hukum terhadap wartawan, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat adanya kenaikan kasus kekerasan terhadap jurnalis di tahun 2012, 56 kasus dibanding tahun 2011 berjumlah 49 kasus. Sayangnya dari 56 kasus tersebut hanya 7 kasus yang ditangai oleh penyidik polisi maupun militer. Mengapa demikian apakah menjadi diimungkinkan ada benang merah karena dari data yang ada 3 kasus kekerasan dilakukan aparat pemerintah, 11 kasus dilakukan polisi, dan 9 kasus dilakukan oleh aparat TNI. Sehingga tidak ditanganinya kasus kekerasan terhadap pers tersebut? Penyelesaian masalah ini menjadi sangat diremehkan ketika hanya diselesaikan dengan jalur damai dengan sekedar meminta maaf. Hal ini selanjutnya akan menjadikan kekerasan terhadap jurnalis, wartawan, pers menjadi hal yang biasa-biasa saja. Padahal kita ketahui bersama jurnalis adalah profesi yang dilindungi hukum. Lalu dimana letak keadilan yang dijunjung tinggi bangsa Indonesia sebagai Negara hukum?
Inilah memang uniknya Indonesia, di satu sisi tergambarkan dalam dua berita diatas bahwa kebebasan pers terinjak injak, suram ditahun ini, sampai memancing aksi dari berbagai kalangan atas penghinaan terhadap kebebasan pers. Memang tidak ada yang akan menguak keburukan terhadap diri sendiri, begitu juga dengan pers yang ada di Indonesia. Begitu gencarnya pers memberitakan perlindungan kebebasan terhadap dirinya sendiri namun lihat di sisi lain. Dewasa ini pers di Indonesia mulai “keblabasan”, melewati jalur bebas dan bertanggung jawab yang diamanatkan oleh UU. Saat ini pers sudah terlampau bebas memberitakan seseorang tanpa mempertimbangkan praduga tak bersalah. Pers adalah penggerak mindset masyarakat yang hanya menerima berita, sehingga mereka yang tidak tahupun ikut menghakimi. Pers haruslah memberikah pengetahuan kepada masyarakat dalam koridor netral tanpa memihak, apalagi memberikan penghakiman. Bisa dikatakan pers melakukan pembodohan terhadap masyarakat yang tidak tahu menahu soal permasalahan apa yang terjadi sesungguhnya.
Kita lihat saja bagaimana aksi-aksi anarkis yang dilakukan oleh masyarakat, pemuda, mahasiswa atas sebuah isu yang dikembangkan oleh media. Inilah hebatnya media, memiiki kekuatan provokatif. Isu-isu yang masih setengah matang dan semu disampaikan dengan menggebu, hasilnya sudah bisa kita lihat sendiri, aksi anarkis, penghakiman masa. Pers yang dalam peranannya sebagai media acuan yang berimbang kini banyak dimiliki oleh elit-elit politik dengan kepentingannya masing-masing. Sehingga pemberitaan dapat di buat menjadi seindah apapun sesuai dengan kepentingan pemilik.
Pers adalah aspek yang sangat vital dalam sebuah Negara oleh karena itu, marilah sebagai masyarakat kita juga melakukan pengawasan yang intensive terhadap lembaga pers di Indonesia, laporkan kepan lembaga yang berwenang apabila terjadi penyalah gunaan. Agar selanjutnya pers di Indonesia menjadi acuan masyarakat yang berimbang, berbas, bertanggung jawab, dan jujur sebagai pilar demokrasi di Negara hukum, Indonesia.

Sumber :