“Kedaulatan adalah di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” Pasal 1 ayat (2) UUDNRI 1945.
Menjelaskan secara eksplisit dalam pasal tersebut bahwa Indonesia adalah Negara
demokrasi dimana kedaulatan ada di tangan rakyat. Lebih jauh bentuk demokrasi
yang sering dibicarakan adalah Demokrasi Pancasila dimana dalam pelaksanaan demokrasi
harus tetap tunduk pada nilai-nilai luhur yang terkandung dalam pancasila.
Merujuk kepada pasal 18B ayat (1)
UUDNRI 1945 “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah
yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”
dan esensi yang terkandung dalam cuplikan berita diatas memberikan gambaran
yang lebih nyata terhadap demokrasi, tidak hanya selogan dari rakyat, oleh
rakyat dan utuk rakyat lagi. Ijab-Qabul 5 September 1954 oleh Sri Sultan HB IX
dan Pakualaman VII yang disebut seagai Maklumat 5 September, menyatakan bahwa Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat
kerajaan adalah daerah istimewa dari NKRI.
Adanya satu kesalah pahaman pada tahun 2010 ketika tuntutan
RUUK DIY segera diselesaiakan, Presiden SBY memberikan pernyataan yang
mengibaratkan bahwa Keraton Kasultanan Yogyakarta sebagai bentuk monarki,
karena dalam menentukan kepala daerah tetap menggunakan “penetapan” bukan
“pemilihan”. Hal ini menjadi polemic dan memicu berbincangan hangat dikalangan
media masa. Mungkin dalam penyampaiannya Presiden saat itu sedang lupa akan
dasar Maklumat 5 September dan Pasal 18B
ayat
(1) UUDNRI 1945. Sebagai jalan tengah dalam UU
DIY akhirnya disepakati diadakannya periodesasi masa jababatan Sri Sultan dan
Pakualaman sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Sultan menghimbau agar
periodesasi ini tidak dijadikan masalah yang harus ditindak lanjuti adalah lima aspek keistimewaan yaitu
kebudayaan, pertanahan, kelembagaan, penetapan gubernur dan wakil gubernur serta
tata ruang.
Pelantikan
kepala daerah tanpa melalui pemilihan umum merupakan model paduan nilai
aristokrasi-demokrasi. Peneliti senior Centre for Strategic and International
Studies (CSIS), J Kristiadi dalam berita diatas menyampaikan ”Pelantikan Sultan
dan Paku Alam di Yogyakarta memberi pemahaman kepada semua pihak bahwa
demokrasi tidak sekadar seremoni, tetapi memiliki akar peradaban. Di
Yogyakarta, nilai adiluhung bisa menyatu dengan nilai demokrasi,” Penulis sangat setuju dengan pandangan
tersebut, merujuk pada konstitusi Indonesia Pasal 18B ayat (2)
UUDNRI 1945, namun sedikit memberi kritik terhadap pemerintah Indonesia bahwa
sesungguhnya penulis rasa pemerintah sendiri tidak mengenal “Indonesia”, asal
mula Indonesia, dan nilai-nilai adat yang terserap dalam Pancasila. Pemerintah
saat ini seperti halnya ingin menerapkan konsep demokrasi barat secara pukul
rata di semua wilayah Indonesia tanpa memperhatikan struktur kemasyarakatan dan
hukum adat masing-masing daerah. Namun pada kenyataannya, Yogyakarta yang tidak
sepenuhnya menggunakan konsep demokrasi tersebut terlihat lebih adem-ayem tanpa
polemik.
Senyawa nilai adiluhung aristokrasi-demokrasi telah
dipraktikkan di Yogyakarta sejak lama, terutama oleh terobosan-terobosan
kebijakan almarhum Sultan Hamengku Buwono IX. Rakyat selama ini percaya kepada
pemimpin karena mereka yakin nilai-nilai itu memberi manfaat. Demokrasi yang
sesungguhnya adalah kepercayaan masyarakat atas pimpinan mereka, dan pengabdian
pemimpin untuk masyarakatnya. Bisa kita lihat bersama ketika masyarakat
Yogyakarta satu suara untuk “penetapan”, itulah demokrasi di Daerah Istimewa
Yogyakarta satu suara bulat meminta “penetapan” bukan bentuk demokrasi dalam
ranah “pemilihan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar