Selasa, 23 Oktober 2012

D E M O K R A S I ala Daerah Istimewa Yogyakarta









            “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” Pasal 1 ayat (2) UUDNRI 1945. Menjelaskan secara eksplisit dalam pasal tersebut bahwa Indonesia adalah Negara demokrasi dimana kedaulatan ada di tangan rakyat. Lebih jauh bentuk demokrasi yang sering dibicarakan adalah Demokrasi Pancasila dimana dalam pelaksanaan demokrasi harus tetap tunduk pada nilai-nilai luhur yang terkandung dalam pancasila.
            Merujuk kepada pasal 18B ayat (1) UUDNRI 1945 “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang” dan esensi yang terkandung dalam cuplikan berita diatas memberikan gambaran yang lebih nyata terhadap demokrasi, tidak hanya selogan dari rakyat, oleh rakyat dan utuk rakyat lagi. Ijab-Qabul 5 September 1954 oleh Sri Sultan HB IX dan Pakualaman VII yang disebut seagai Maklumat 5 September, menyatakan bahwa Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari NKRI.
Adanya satu kesalah pahaman pada tahun 2010 ketika tuntutan RUUK DIY segera diselesaiakan, Presiden SBY memberikan pernyataan yang mengibaratkan bahwa Keraton Kasultanan Yogyakarta sebagai bentuk monarki, karena dalam menentukan kepala daerah tetap menggunakan “penetapan” bukan “pemilihan”. Hal ini menjadi polemic dan memicu berbincangan hangat dikalangan media masa. Mungkin dalam penyampaiannya Presiden saat itu sedang lupa akan dasar Maklumat 5 September dan  Pasal 18B ayat (1) UUDNRI 1945. Sebagai jalan tengah dalam UU DIY akhirnya disepakati diadakannya periodesasi masa jababatan Sri Sultan dan Pakualaman sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Sultan menghimbau agar periodesasi ini tidak dijadikan masalah yang harus ditindak lanjuti adalah  lima aspek keistimewaan yaitu kebudayaan, pertanahan, kelembagaan, penetapan gubernur dan wakil gubernur serta tata ruang.
            Pelantikan kepala daerah tanpa melalui pemilihan umum merupakan model paduan nilai aristokrasi-demokrasi. Peneliti senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS), J Kristiadi dalam berita diatas menyampaikan ”Pelantikan Sultan dan Paku Alam di Yogyakarta memberi pemahaman kepada semua pihak bahwa demokrasi tidak sekadar seremoni, tetapi memiliki akar peradaban. Di Yogyakarta, nilai adiluhung bisa menyatu dengan nilai demokrasi,” Penulis sangat setuju dengan pandangan tersebut, merujuk pada konstitusi Indonesia Pasal 18B ayat (2) UUDNRI 1945, namun sedikit memberi kritik terhadap pemerintah Indonesia bahwa sesungguhnya penulis rasa pemerintah sendiri tidak mengenal “Indonesia”, asal mula Indonesia, dan nilai-nilai adat yang terserap dalam Pancasila. Pemerintah saat ini seperti halnya ingin menerapkan konsep demokrasi barat secara pukul rata di semua wilayah Indonesia tanpa memperhatikan struktur kemasyarakatan dan hukum adat masing-masing daerah. Namun pada kenyataannya, Yogyakarta yang tidak sepenuhnya menggunakan konsep demokrasi tersebut terlihat lebih adem-ayem tanpa polemik.
Senyawa nilai adiluhung aristokrasi-demokrasi telah dipraktikkan di Yogyakarta sejak lama, terutama oleh terobosan-terobosan kebijakan almarhum Sultan Hamengku Buwono IX. Rakyat selama ini percaya kepada pemimpin karena mereka yakin nilai-nilai itu memberi manfaat. Demokrasi yang sesungguhnya adalah kepercayaan masyarakat atas pimpinan mereka, dan pengabdian pemimpin untuk masyarakatnya. Bisa kita lihat bersama ketika masyarakat Yogyakarta satu suara untuk “penetapan”, itulah demokrasi di Daerah Istimewa Yogyakarta satu suara bulat meminta “penetapan” bukan bentuk demokrasi dalam ranah “pemilihan”.





            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar